Pertama Syair Sufi oleh Hamzah Fansuri. Kedua, syair
DzauqDan Syurb Gelas minuman adalah susuan kita Kalau tak kita rasa Tak hidup kita Aku heran orang bicara, "Aku telah ingat Allah" Apakah Tentang Mabuk Ilahi para Sufi sering mengutip syair Pabila pagi cerah dengan kejora citanya itulah keserasian Antara kemabukan dan kesukacitaan.
AsmaulHusna 99 Nama Allah Selawat Badar. Jumaat, 28 Oktober 2011. SYAIR SEORANG SUFI Puisi sufi membuktikan kebangkitan penyair-penyair yang sentiasa mencari jalan ke syuarga Allah. Sebagai makhluk spiritual mereka sentiasa berusaha mengungkapkan kerinduannya akan nilai-nilai spiritual demi menciptakan keutuhan diri dan mengajak masyarakat
Vay Tiền Online Chuyển Khoản Ngay. SUFI, BERDO’A DAN BERDZIKIR DENGAN UNTAIAN SAJAK DAN SYAIR-SYAIRAl-Qur`ân merupakan kitab hidayah petunjuk menuju kebaikan dan keselamatan bagi manusia di dunia dan akhirat. Melalui petunjuknya, hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla yang dinaungi taufik-Nya memperoleh hidayah menuju jalan terbaik dalam setiap segi kehidupan, dalam soal keyakinan aqidah, ibadah dan siapa saja yang bertamassuk komitmen dengannya, niscaya akan mendapat petunjuk dan orang yang berjalan di atas niscaya beruntung. Sebab, ia merupakan pintu hidayah paling besar dan jalan keselamatan paling agung. Allâh Azza wa Jalla berfirmanاِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا كَبِيْرًاۙSesungguhnya al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar [al-Isrâ/179]Demikian juga, petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya, sangat penting bagi umat. Sebab melalui hadits-haditsnya yang juga wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjabarkan ayat-ayat al-Qur`ân, menjelaskan dan menerangkannya. Juga membawa hukum tersendiri yang tidak disinggung oleh al-Qur`ân. Dalam ucapan-ucapannya yang mulia, beliau dianugerahi Allâh Azza wa Jalla dengan jawâmi’ul kalim, perkataan-perkataan padat lagi ringkas, namun bermuatan makna yang luas lagi Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaبُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الْكَلِمِAku diutus dengan jawâmi’ul kalim HR. al-Bukhâri dan MuslimApabila hal ini telah terpahami, maka menjadi kewajiban seorang Muslim untuk mengetahui dan menyadari betapa pentingnya doa-doa yang bersumber dari al-Qur`ân dan Hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam . Dan dalam doa-doa tersebut – tidak diragukan lagi- mengandung segala kunci pembuka kebaikan dan penutupnya, dalam permulaan dan akhirnya, secara lahir dan batinnya. Ditambah dengan adanya keindahan, kesempurnaan dan kerapian teks-teksnya. Juga akan mendatangkan perwujudan cita-cita yang tinggi dan tujuan-tujuan yang agung, serta kebaikan yang sempurna di duna dan akhierat. Dan ingat, karena bersumber dari wahyu, maka akan terjaga dari kekeliruan, kesalahan dan penyelewengan. Allâh Azza wa Jalla telah memilihkan bagi nabi-Nya doa-doa terbaik, ringkas, dan memenuhi segala hajat dzikir dari al-Qur`ân dan Hadits shahih “Yang diperintahkan bagi seorang Muslim adalah berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla sesuai dengan apa yang disyariatkan agama dan berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan doa-doa ma`tsur yang datang dari al-Qur`ân dan Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang shahih. Karena itu, wajib atas seorang Muslim mengikuti ittibâ’ apa yang telah disyariatkan Allâh Azza wa Jalla dan apa yang telah dicontohkan Nabi-Nya”. [1]Dzikir dan wirid dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sudah dapat dipastikan jauh lebih afdhol dan lebih bermanfaat daripada wirid produk manusia biasa, senantiasa bebas dari pelanggaran tauhid, pasti berbahasa baik, fasih dan benar, dan memenuhi hajat hidup manusia, di dunia dan Ulama Islam mempunyai perhatian untuk senantiasa mengaitkan umat dengan doa dan wirid dari al-Qur`ân dan Hadits, lantaran kandungannya yang sempurna, terjaga dari kesalahan dan bebas dari al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, ” Menjadi kewajiban orang untuk menggunakan doa dari Kitâbullâh dan Hadits yang shahih, dan meninggalkan selain itu. Ia tidak boleh mengatakan, “Saya pilih wirid ini saja yang berasal dari si A. sebab Allâh Azza wa Jalla telah memilihkan bagi nabi dan para wali-Nya dan mengajarkan kepada mereka bagaimana saat berdoa”. [2]Tentang keutamaan doa dan wirid dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diajarkan Allâh Azza wa Jalla kepadanya, Qâdhi Iyâdh rahimahullah berkata, “…Terkumpul padanya doa beliau tiga unsur penting pengetahuan yang benar tentang tauhid, pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab, dan niat baik untuk mencurahkan segala kebaikan terhadap umat. Maka, tidak seyogyanya bagi siapapun berpaling dari doa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam . Sebagian orang telah terperdaya oleh setan dalam masalah ini, setan telah menghimpun bagi mereka sekumpulan orang jelek yang membuat-buat doa dan dzikir tertentu bagi mereka, akibatnya mereka ini sibuk dengannya sehingga melupakan mengikuti doa dan wirid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam berdoa”.[3]Simak komentar Imam Mâlik rahimahullah terhadap orang yang berdoa kepada Allâh dengan lafazh , “Ya Sayyidi wahai Dzat Yang menguasaiku” Hendaknya ia berkata, “Ya Rabbi”, sebagaimana yang diucapkan para nabi dalam doa-doa mereka”.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Seharusnya manusia berdoa dengan doa-doa yang disyariatkan yang datang dari al-Qur`ân dan Sunnah Hadits. Sesungguhnya doa-doa itu yang bersumber dari keduanya tidak diragukan lagi tentang keutamaan dan kebaikannya, dan itu merupakan jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah diberi kenikmatan oleh Allâh Azza wa Jalla dari kalangan para nabi, shiddiqin para pecinta kebenaran, syuhâdâ orang-orang yang mati syahid dan kaum shalihin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. [4]“Perhatikanlah – semoga Allâh Azza wa Jalla melindungimu- bagaimana para Ulama itu ingin selalu mengaitkan manusia dengan doa-doa para nabi, dan doa dari al-Qur`ân serta doa-doa yang ma’tsur dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam . Sesungguhnya itulah doa yang paling pantas untuk dilantunkan dan yang paling utama untuk digunakan dalam berdoa. Dan barang siapa berdoa dengannya, ia berada di atas jalan yang lurus, jalan yang aman, aman dari ketergelinciran, dan ia akan meraih setiap kebaikan dan keutamaan di dunia dan akherat”. [5]Salah satu contoh produk Dzikir berformat syairإِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلًا – وَلاَ أَْقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِيْ- فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِWahai Ilahku, aku tak pantas mendapatkan surga Firdaus, Akan tetapi aku pun tidak kuasa menahan panasnya neraka Jahim Maka anugerahilah aku taubat dan ampuni dosa-dosaku, Sesungguhnya Engkau Maha Mengampuni dosa-dosa besarSebagian orang memang sudah terbiasa mendengarkan, menghafal dan kemudian mengamalkan bacaan-bacaan sajak dan syair-syair tersebut sebagai wirid atau membacanya pada momen-momen tertentu. Sudah tentu, dengan mengharap pahala dan ganjaran dari Allâh Azza wa Jalla , menggapai surga dan selamat dari neraka. Bisakah ini diterima?Masih banyak contoh lain, seperti syair-syair yang dibaca sebelum adzan, syair-syair yang memuat asmaul husna, termasuk yang termuat dalam buku-buku yang dibaca dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam , dan syair-syair lainnya yang biasa Ajaran ini Bila mencermati teks dzikir’ di atas, dua untai bait syair yang cukup sangat populer di sebagian masyarakat. Dilantunkan jamaah sholat Jum’at dengan panduan imam masjid sebagai bagian tak terpisahkan dari dzikir-dzikir bakda shalat Jum’at. Dua bait syair ini hanya sekedar contoh yang dipraktekkan di lapangan, dipilih lantaran pelantunannya di hari yang mulia, hari Jum’at, dan di tempat yang mulia, masjid, dan mengiringi dzikir bakda sholat Jum’at, disertai harapan diwafatkan dalam keislaman. Tak habis pikir, mengapa disertakan dalam ibadah sholat Jum’ yang menyusunnya, tidak sepantasnya menjadi pelengkap dzikir usai shalat Jum’at. Memang membaca syair bukan perkara terlarang dalam syariat. Dahulu, seorang Sahabat pernah melontarkan syair di dalam masjid dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengetahuinya tanpa menegur. Akan tetapi, apakah Sahabat itu melantunkannya dalam rangka secara khusus untuk berdzikir dan beribadah? Jawabannya, jelas tidak. Mengapa dua bait syair di atas senantiasa dibaca seolah-oleh hukumnya sangat ditekankan?. Anggap saja dzikir dengan produk syair boleh, mengapa bukan syair orang lain, apakah tidak ada syair yang lebih baik darinya?.Hukum berdzikir dengan syair-syair produk manusia akan menjadi jelas dengan melihat sejarah. Ternyata, praktek ajaran ini, beribadah dengan membaca syair dan melagukannya, baru muncul pada akhir abad 2 H. Diusung oleh kaum zanaqiqoh ke tengah kaum Muslimin di Baghdad dengan nama taghbîr. Pada asalnya, bersumber dari cara ibadah kaum Nasrani lewat para pemuka agama mereka yang berkuasa penuh dalam mensyariatkan apa saja sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu pribadi buruk lagi, fakta lain menyatakan bahwa ritual semacam ini sudah dilakukan oleh bangsa Yunani kuno yang jelas beridiologi paganisme syirik sebelum diutusnya Nabi Isa Alaihissallam. Dahulu mereka melantunkan dan mendendangkan ilyâdzah kumpulan syair yang berjumlah 16 ribu bait untuk Homerus untuk keperluan dzikir dan demikian, gaya dzikir yang biasa dilantunkan kalangan Sufi ini bersumber dari kaum zindiq, yang mengadopsinya dari Nasrani, dan sebelumnya telah dilakukan kaum watsani paganis Yunani. Jadi, pembaca tahu apa yang harus Buruk Dzikir dan Doa Model Syair Dzikir model syair yang dilagukan dengan nada tertentu jelas bukan berasal dari petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam , utusan Allâh Azza wa Jalla yang terakhir. Maka, membiasakannya sebagai bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla bukan termasuk cara-cara yang tepat. Justru akan membuat orang jauh dari Allâh Azza wa Jalla dan ajaran Nabi Muhammad yang ma’shum, disadari atau tidak. Dan ini merupakan perbuatan istibdâlul adnâ billadzi huwa khair mengambil yang lebih rendah untuk mengganti yang lebih baik. Maksudnya, lebih perhatian dengan syair-syair yang jelas merupakan produk manusia biasa, sehebat apapun ilmunya, daripada membaca dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang telah diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Akibatnya, cepat atau lambat, dzikir dan wirid ajaran Nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan menjadi mahjûr terlupakan. Ini adalah dampak logis dari praktek ibadah tanpa panduan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , yaitu terbengkalainya petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang berkaitan dengannya secara itu, bentuk doa yang berisi syair-syair dan dibaca dengan lantunan nada tertentu, dengan meninggalkan doa dan wirid yang disyariatkan merupakan perbuatan i’tidâ melampaui batas dalam berdoa yang dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla.[6]Dan jangan lupakan, sisi manusiawi penyusun doa, dzikir dan wirid yang berbentuk syair. Karena seorang manusia biasa, tentu tidak ada jaminan bebas dari kesalahan, sekali lagi, sehebat apapun ilmunya. Baik itu sekedar kesalahan dalam susunan bahasa Arab dengan bahasa yang kurang fasih atau rangkaiannya biasa-biasa saja, bertentangan dengan etika kesopanan, adanya kandugnan tawasul yang bid’ah, atau kesalahan yang fatal yang menjurus pada pelanggaran aqidah Islam yang bertumpu pada pengesaan Allâh Azza wa Jalla dalam peribadahan dan pengagungan. Dan fakta membuktikan pelanggaran syair-syair tersebut terhadap aqidah Islam memang ada!. [7]Perkataan-perkataan yang berbentuk syair yang dibaca dengan nada tertentu sebenarnya hanya akan membawa pelantunnya menuju dunia nyayian’. Apalagi sebagian wirid berbentuk syair ini dilantunkan dengan mengikuti ritme lagu pop tertentu. Belakangan, ada penyayi dan grup musik yang mengadopsinya sebagai lirik lagu yang mereka dendangkan. Tentu ini aneh, sebuah ibadah yang dibarengi dengan sesuatu yang jelas melalaikan hati dari dzikrullâh bacamusik. Ya, ini salah satu bentuk kebatilan berbalut kebatilan yang lain, namun dipandang sebagai bentuk ibadah yang mendatangkan kebaikan !?Maka tak heran bila Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan, “Termasuk perkara baru dalam agama yang harus ditolak, yaitu beribadah dengan membaca syair-syair baik dalam berdoa maupun dzikir, baik dilakukan sendiri maupun berjamaah”.Ulama pun Sudah Mengingkari Tidak mengherankan bila para Ulama Ahlus Sunnah mengingkari praktek berdoa dan dzikir dengan cara seperti ini, sekaligus mengingkari para pelakunya. Sebut saja, Imam Syâfi’i w. 204H, al-Hâfizh Yazîd bin Hârûn w. 206, Imam Ahmad bin Hambal w. 241H, al-Hâfizh Ubaidillâh bin Muhammad bin Bathtah bin Walid ath-Thurthusyi w. 520H mengatakan, “Aneh sekali, bila engkau berpaling dari doa-doa yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla dalam kitab-Nya tentang doa-doa_ para nabi, dan orang-orang pilihan-Nya yang disertai pengabulan doa-doa itu, kemudian engkau memilah-milih sendiri teks para penyair dan penulis, seolah-olah engkau telah berdoa dengan seluruh doa para nabi dan orang-orang terpilih itu, kemudian merasa butuh dengan doa-doa orang lain”. [8]Allamah al-Mu’allimi t mengatakan, “Betapa meruginya orang yang meninggalkan doa-doa yang berasal Kitabullah atau SUnnah Rasulullah, sampai hampir-hampir tidak berdoa dengannya. Sementara itu, ia mencari yang lain dan memilihnya serta mengamalkannya secara rutin. Bukankan ini perbuatan kezhaliman dan udwan?”. [9]Motivasi Imam ath-Thabraani Menyusun Kitab Doa Dalam muqodimah kitabnya ad-Du’â, Imam ath-Thabrâni menyampaikan motivasi penyusunannya dengan berkata, “Kitab ini aku susun telah mencakup doa-doa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Yang mendorongku menulisnya, aku melihat banyak orang yang justru mengamalkan doa-doa yang berbentuk sajak, doa-doa yang ditulis sesuai dengan jumlah hitungan hari, tidak pernah diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam juga tidak berasal dari salah seorang Sahabat beliau, tidak juga berasal dari kalangan Tâbi’în generasi terbaik umat,red. Ditambah lagi, adanya ketidaksukaan Rasulullah terhadap doa yang berbentuk sajak…maka aku menyusun kitab ini disertai sanad-sanadnya dari Rasul…”. [10]Kesimpulan Menjadi kewajiban umat untuk menomorsatukan petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam segala hal, termasuk mendahulukan dan lebih memilih teks doa-doa dan wirid dari beliau yang jelas kemuliaan dan keutamaannya. Dan ini salah satu dari hal yang akan menguatkan perwujudan kecintaan dan pengagungan kita kepada beliau. Ingat, pilihan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang ma’shum bagi umatnya adalah perkara yang terbaik, paling mendatangkan keselamatan, kebaikan dan kesuksesan. Wallâhu a’lamSilahkan lihat pembahasan ini dalam kitabTashhîhud Du’â , DR. Bakr Abu Zaid. hlm. 93-99Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr, Prof. DR. Abdur Razzaq al-Abbad al-Badr 4/7-10, 2/44-57[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Do’a & Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hlm. 8 [2] Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân 4/179. Lihat Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr 4/9 [3] Lihat al-Futuhât ar-Rabbâniyyah, Ibnu Allân 1/17 [4] Majmû al-Fatâwâ 1/346 [5] Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr 4/10 [6] Lihat Tashhîhud Du’â hlm. 94 [7] Namun makalah ini tidak membahas hal itu [8] Nukilan dari Tashhîhud Du’â hlm. 94 [9] Al-Ibâdah, al-Mu’allimi. Nukilan Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr dari hlm. 2/47 [10] Ad-Du’â, ath-Thabrâni 2/785. Lihat Fiqhul Ad’iyah 2/48 Home /A9. Fiqih Dakwah Firqah.../Sufi, Berdoa dan Berdzikir...
Syair-syair Imam Syafi’i yang terhimpun di bawah ini merupakan terjemahan Dr. H. Hilmy Muhammad, MA. Diterjemahkan secara bertahap dari bulan April hingga Agustus 2011, dan dipublikasikan melalui akun Facebooknya. Saya menyukai orang-orang yang saleh, meskipun saya bukan termasuk mereka. Saya berharap, disebabkan mereka, saya akan mendapat syafa’at Allah Ta’ala. أُحِبُّ الصَّالِحِيْنَ وَلَسْتُ مِنْهُمْ لَعَلِّي أَنْ أَنَالَ بِهِمْ شَفَاعَةً Ucapkan selamat tinggal pada dunia bila tidak ada lagi sahabat yang menyukai kebenaran, menepati janji, dan berlaku adil. قال الإمام الشافعي سَلاَمٌ على الدُّنْيَا إذا لم يَكُنْ بِها صَدِيْقٌ صَدُوْقٌ صَادِقُ الوَعْدِ مُنْصِفا Seandainya Allah menghendaki agar api Jahannam membakarmu selamanya, tentu Allah tak hendak memberi hidayah tauhid ke dalam hatimu. لَوْ شَاءَ أنْ تَصْلَى جَهَنَّمَ خَالِدًا مَا كَانَ أَلْهَمَ قَلْبَكَ التَّوْحِيْدَا Orang yang tidak diberi kesadaran tentang alam keabadian di hari nanti, pasti yang dia pikirkan hanyalah rezeki yang akan dia makan pada esok hari. قال الإمام الشافعي مَنْ كَانَ لَمْ يُؤْتَ عِلْمًا فِي بَقَاءِ غَدٍ مَاذَا تَفَكُّرُهُ فِي رِزْق بَعْدَ غَدٍ Tiga hal yang menjadikan seseorang rusak dan sakit suka minum arak, keseringan tidur [ atau ehm, ditiduri maaf] dan memasukkan makanan terhadap makanan [ makan sebelum lapar] ثلاثٌ هُنَّ مُهْلِكَةُ الأنَامِ وَدَاعِيَةُ الصَّحِيْحِ إلَى السِّقَامِ دَوَامُ مُدَامَةٍ وَدَوَامُ وَطْأٍ وإِدْخَالُ الطَّعَامِ عَلَى الطَّعَامِ Tidak mendapat hikmah, orang yang kesehariannya disibukkan dengan urusan-urusan keluarga. Tidak akan memperoleh ilmu, pelajar yang tidak memfokuskan pikirannya untuk belajar, dan malah menyibukkan dirinya dengan urusan-urusan lain. لاَ يُدْرِكُ الحِكْمَةَ مَنْ عُمْرُهُ يَكْدَحُ فِي مَصْلَحَةِ الأَهْلِ وَلاَ يَنَالُ العِلْمَ إِلاَّ فَتًى خَالٍ مِنَ الأَفْكَارِ والشُّغْلِ Buanglah kesedihanmu. Tidak ada gunanya. Mengapa harus sedih? Percayalah bahwa Tuhan yang telah memenuhi kebutuhanmu di hari kemarin itu akan memberi kecukupan kepadamu di waktu esok hari. فَادْرَأْ الهَمَّ مَا اسْتَطَعْتَ عَنِ النَّفْسِ، فَحُمْلاَنُكَ الهُمُوْمَ جُنُوْنٌ إِنَّ رَبًّا كَفَاكَ بِالأَمْسِ مَا كَاَنَ، سَيَكْفِيْكَ فِي غَدٍ مَا يَكُوْنُ Begadangku guna mengkaji ilmu lebih menyenangkanku daripada mendengar nyanyian biduanita dan ada dlm pelukannya سَهْرِي لِتَنْقِيْحِ العُلُوْمِ أَلَذُّ لِي مِنْ وَصْلِ غَانِيَةٍ وَطِيْبِ عِنَاقٍ Aku menemani gelapnya malam dan tidak tidur malam untuk belajar. Masihkah kamu ingin mengikuti jejakku?! وَأَبِيْتُ سَهْرَانَ الدُّجَا وَتَبِيْتُهُ نَوْمًا. وَتَبْغِي بَعْدَ ذَاكَ لِحَاقِي؟ Seorang menulis kepada Imam Syafi’i, “Tanyakan kepada si Mufti Makkah itu, apakah pelukan sepasang kekasih itu membatalkan puasa?” سَلِ المُفْتِيَ المـَكِّيَّ هَلْ فِي تَزَاوُرٍ وَضَمَّةِ مُشْتَاقِ الفُؤَادِ جُنَاحٌ Saya jawab, “Semoga Allah memberi perlindungan dari batalnya puasa sepasang kekasih yang sekadar berpelukan tanpa jima’.” أَقُوْلُ مَعَاذَ اللهِ أَنْ يُذْهِبَ التُّقَى تَلاَصُقُ أَكْبَادٍ بِهِنَّ جِرَاحٌ Jadilah faqih sekaligus sufi. Sungguh aku menasehatimu karena Allah, jangan kamu menjadi salah satunya. Sebab, menjadi faqih saja hanya akan membuat keras kepala & kurang bertakwa, sedang menjadi sufi saja namanya bego. Mana mungkin ia bisa membawa kebaikan? فقيها وصوفيا فكُنْ لَييسَ واحدا فإِنِّي وَحَقِّ الله إيّاك أَنصَحُ فذلك قَاسٍ، لم يَذُقْ قلبُه تُقًى وهذا جَهول، كيف ذو الجهل يَصلُحُ؟ Termasuk kemalangan adalah kamu mencintai seseorang, sementara orang itu mencintai orang lain. Atau, kamu ingin memberi kebaikan kepada seseorang, sementara orang itu menghendaki keburukan terhadapmu. قال الإمام الشافعي وَمِن الشَّقاوةِ أَنْ تُحِبَّ وَمَنْ تُحِبُّ يُحِبُّ غَيْرَك أَوْ أَنْ تُريدَ الخَيْرَ لِلإنـ ـسانِ وَهُوَ يريدُ ضَيْرَكَ Orang terus saja membuat bid’ah-bid’ah dengan dalih akal, segala sesuatu yang pada masa para rasul tidak ada. Mereka menganggap remeh hak Allah dan meninggalkan hal penting yang menjadi kewajiban, yang mestinya diprioritaskan. لَمْ يَفْتأِ الناسُ حتى أحدثوا بِدَعًا في الدِّيْنِ بالرأيِ لَمْ يُبْعَثْ بها الرُّسُل حتى اسْتَخَفَّ بِحَقِّ اللهِ أَكْثَرُهم وفي الذي حَمِلُوا من حقِّه شُغْلٌ Jika Anda menginginkan kemuliaan-kemuliaan dari Allah, maka bertemanlah dengan orang-orang yang mau memelihara “rumah”-Nya. Itu seperti Anda berteman dengan seekor singa, dia harus bersedia menjaga larangan-larangannya dan memuliakan tamunya, dalam keadaan hidup atau mati. إذا رُمْتَ المكارمَ من كريمٍ فَيَمِّمْ مَنْ بَنَى لله بَيْتًا فذاك اللَّيْثُ مَن يَحْمِي حِماه وَيُكْرِمُ ضَيْفَه، حَيًّا وَمَيْتًا Semoga Allah, Dzat yang memiliki segala kebaikan, akan mengampuni keburukan, kesalahan dan dosa-dosaku. Amin. عسى مَنْ له الإحسانُ يَغفِرُ زَلتي ويَسْتُر أوزاري وما قد تقدَّمَ
Syakautu ila Waqi’in sua hifdzi, Fa arsyadani ila tarki al ma’ashi, Wa akhbaroni bi anna ilmu nuurun, Wa Nuurullahi la yu’tha li aashi” Aku mengadukan buruknya 'ingatanku' kepada syeikh waqi. Beliau berkata “tinggalkanlah maksiat, tinggalkanlah dosa. Ilmu adalah cahaya. Bukan sembarang cahaya. Ia adalah cahaya dari Allah SWT. Dan Cahaya Allah tak akan teranugerahkan kepada si Al ashi pelaku maksiat atau pendosa”. Syair populer ini dilantunkan oleh Imam Syafii. Orang lebih mengenal imam syafii sebagai imam mazhab fikih, tapi sesungguhnya beliau juga seorang pengembara ruhani. Secara sanad beliau berguru kepada imam malik dan imam malik berguru kepada imam Jafar As shadiq hingga bersambung sampai rasulallah. Beliau gelisah karena terlempar dari mengingatNya. Memohon agar dibimbing untuk bs mengingatNya kembali. Sang guru menjawab di balik ilmu ada cahaya. Dan itu adalah cahaya Allah. Jika pengetahuan yang kita dapat tidak menerangi hati tetapi malah membuat kita bermaksiat kepada Allah dengan merasa paling benar, paling alim, paling tahu, paling pintar, paling bijak, paling sufi, paling kenal Tuhan maka sesungguhnya ilmu yang kita dapat hanya kumpulan teori dan rumus rumus pemuas syahwat nalar kita. Karena yang terpenting bukan ilmu yang kita dapat tetapi sejauh mana 'NUR' yang Allah simpan dibalik pengetahuan atau bahkan dibalik huruf per huruf itu menyala nyala dalam hati kita untuk menerangi perjalanan kita menuju Allah. Pertemuan, perkumpulan dan persahabatan kaum sufi bukan untuk membahas dan memperdebatkan teori dan konsep cahaya, tetapi justru untuk saling membantu setiap jiwa agar sanggup menyalakan cahaya dalam dirinya lalu bersimpuh di hadapan Allah dan menunggu 'waktu' dimana Allah membuka pintuNya untuk menerima kedatangan hambaNya. Melepaskan kemelakatan atau keterikatan kepada dunia bukan dengan lari dari dunia. Tapi dengan berusaha menyalakan cahaya cinta di dalam hati kita agar hati kita sadar siapa Tuan bagi hati ini dan siapa penumpang gelap. setelah itu kita hadapi dan tundukan penumpang gelap yang bernama dunia itu sebagaimana Musa menundukkan ular untuk kembali menjadi tongkat. Pelajaran terpenting dari kisah imam syafii adalah jangan pernah melihat ilmu dari kegagahannya hawa nafsu karena akan melahirkan kesombongan maksiat. Saat sombong kita telah terlempar dari mengingatNya dan ilmu yang ada pada diri kita tidak memancarkan cahaya. Tidak menerangi diri sendiri apalagi orang lain. Justru pada akhirnya akan mendegradasi kualitas kemanusiaan kita. Sekedar renungan untuk bercermin bagi diri sendiri yang masih membutuhkan bimbingan dan mohon maaf bila terkesan menggurui. Wallahu alam. Asnawi
syair sufi tentang allah